Wednesday, April 29, 2015

Field Trip

Konnichiwa.

Baru 2 minggu kuliah, udah field trip? Ya, sabtu kemarin, tanggal 25 April 2015, saya mengikuti field trip yang diselenggarakan oleh Kyoto University. Field trip ini hanya ditujukan untuk mahasiswa internasional Kyodai. Hanya sehari sih, tapi lumayan untuk refreshing sekaligus mengetahui Kyoto. Lagipula, saya tidak harus membayar apapun untuk mengikuti ini.

Untuk mengikuti field trip ini, kita diminta untuk berkumpul di clock tower (tokeidai) pukul 9 pagi. Kemudan kami mendapat pengarahan untuk sebagai mahasiswa internasional baru. Mereka memberi beberapa informasi, meski kebanyakan telah saya ketahui.




Lalu, sekitar jam 10, kami pun berangkat dari Kyodai menuju lokasi pertama, yaitu lokasi pembuatan macha, atau teh jepang. Di sini, kami diberi banyak pengetahuan mengenai sejarah toko teh tersebut, cara pembuatan teh hijau, dan tea ceremony ala Jepang. Sayangnya sang pemilik toko berbahasa Jepang, jadi saya tidak terlalu mengerti apa yang dia katakan.



Setelah mencoba cara pembuatan macha, kami pun melaksanakan tea ceremony yang ternyata memiliki peraturan-peraturan. Seperti, ketika menuangkan bubuk teh, hanya boleh 2 sendok, kemudian kita harus mengetukkan sendok itu sekali ke cangkir kita. Setelah itu, kita hanya boleh mengisi air ke cangkir kita 1/4 dari tinggi cangkir, lalu mengaduknya dengan alat khusus seperti sapu lidi kecil. Kami juga diberitahu cara meminum yang sesuai. Wah, sungguh repot.




ini taburan macha, daun teh hijau yang sudah bubuk

Macha setelah dikocok
Setelah itu, kami jalan jalan di sekitar toko macha itu. Lokasi tokonya di Uji, dan ternyata kami tepat di lokasi sungai Uji. Bagus sekali. Di sekitarnya banya yang berjualan hal-hal berkaitan dengan teh hijau, seperti camilan, aksesoris, dan es krim. Saya pun membeli satu es krim teh hijau.

Ini eskrim teh hijau
Nah in dia sungai Uji
Setelah puas di daerah Uji, kami berangkat menuju tempat selanjutnya, yaitu Arashiyama. Wah ini lah tempat yang sagat saya tunggu. Arashiyama sangat terkenal dengan tempatnya yang indah dan memiliki banyak spot pemandangan. Tapi karena waktu yang terbatas, saya hanya mengunjungi hutan bambu-nya yang terkenal.












Cantik sekali kan? Saya juga sebenarnya tidak puas dengan hanya melihat Arashiyama di satu spot. Mungkin lain kali saya harus menjelajah Arashiyama lebih lama. Sebenarnya banyak hutan bambu seperti ini di Indonesia, sayangnya tidak terlalu dirawat seperti di Jepang. Sehingga hutan bambu Arashiyama ini terlihat sangat cantik.

Lalu berikutnya adalah perhentian terakhir, tapi saya saat itu sudah sangat lelah, kami hanya diberitahu tentang seni lukis kain Jepang, dan kami berkreasi untuk melukis sendiri kain yang diberikan pada kami. Meskioun sudah terdapat pola yang memudahkan kami mewarnai, tapi tetap saja sulit, karena jenis cat yang mudah merembes ke kainnya.

hasil warna saya, yah tidak semudah yang terlihat

Nah, sudah selesai disini, kami pun pulang menuju Kyodai. Kami sampai Kyodai sekitar pukul 5 sore, setelah itu kami semua pulang menuju tempat kami masing-masing. Dan saya pun harus pulang dengan sepeda menuju dorm.

Lelah, tapi sangat seru untuk menikmati hari sabtu.

Salam,
Mitzi Alia.

Sunday, April 26, 2015

School Life

Konbanwa.


Nah, akhirnya saya mendapatkan waktu untuk kembali menulis. Akhir-akhir ini tugas semakin menjadi, sehingga sulit menemukan waktu luang untuk sekedar menyalurkan informasi di blog muda ini.

Seperti judulnya, kali ini saya akan membahas perbedaan sistem pendidikan di Jepang dengan Indonesia. Sama sih secara garis besar, mereka juga memiliki Taman Kanak-kanak, SD, SMP, SMA dan Univesitas. Lalu apa bedanya? Bedanya, mereka tidak ada ujian nasional seperti di Indonesia. Saya juga sempat bingung, maka dari itu  saya mengobrol dengan teman sekelas saya dan dia memberi saya banyak informasi tentang sistem sekolah di Jepang. 


Ini soal Center Exam
Tidak seperti di Indonesia yang mempunyai Ujian Nasional atau UN sebagai faktor kelulusan seorang pelajar, Jepang tidak memiliki ujian kelulusan. Sebuah kelulusan ditentukan murni dari nilai rapot yang diakumulasi. Kalau begitu, di Jepang lebih mudah dong? Oh tidak, setelah lulus, mereka harus melalui sebuah ujian masuk untuk ke tingkat sekolah yang lebih tinggi. Jadi mereka mengadakan ujian masuk, bukan ujian kelulusan yang dilaksanakan secara serempak. Ujian masuk ini disebut juga Center Exam, atau Sentaa Shiken. Setelah melalui ujian ini, kita akan memperolah sebuah skor yang kemudian akan diajukan untuk memasuki tingkat sekolah lebih tinggi. Jika skor kita tidak mencukupi, maka kita tidak bisa melanjutkan sekolah. Meskipun dilakukan secara bersamaan, jenis soal berbeda untuk setiap perfektur, ujian per daerah. 

Kemudian, saat hendak memasuki perkuliahan, selain harus mengikutin Center Exam, siswa Jepang juga harus melalui ujian lain yang diajukan universitas. Ujian kedua ini berbeda-beda untuk setiap universitas yang ingin dimasuki. Dan yang saya dengar, Center Exam untuk SMA sangatlah sulit, bahkan lebih sulit dari Examination for Japanese University (yang bagi saya sangat sulit). Ditambah ujian yang diajukan dari pihak universitas juga pasti lebih sulit dari Center Exam ini.

Memang materi yang diajarkan di sekolah Jepang agak sedikit berbeda dengan sekolah di Indonesia. Kebanyakan sekolah di Indonesia mengutamakan latihan soal dibandingkan pemahaman, sementara sekolah Jepang sebaliknya, lebih mengutamakan konsep.

Selain itu juga, mulainya semester di Jepang berbeda dengan di Indonesia, yaitu dimulai saat musim semi bulan April, dan berakhir di Maret tahun depannya. Libur semester pun sangat berbeda, yaitu libur musim panas pada bulan agustus-september, dan musim dingin bulan februari-maret, sehingga mereka memiliki waktu libur yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan sekolah di Indonesia. Dan lagi, sekolah di Jepang dimulai rata-rata pada pukul 8.45 pagi, dan selesai pada pukul 16.30. Waktu yang cukup cepat untuk sekolah, tidak seperti di Indonesia yang mulai dari jam 7 pagi hingga 5 sore.

Selain perbedaan itu pula, Jepang memiliki banyak jenis seragam. Setiap sekolah memiliki ciri-ciri masing-masing, tapi tetap mempertahankan ciri khas dari SD, SMP dan SMA jepang. Sehingga mudah untuk membedakan murid SD, SMP dan SMA. Setiap sekolah pun memiliki beragam jenis seragam. Karena Jepang adalah negeri 4 musim, maka mereka memiliki seragam musim panas, musim semi/gugur, dan musim dingin.


Keadaan kelas untuk SMA
Ini beberapa jenis seragam SMA dalam satu sekolah
Ini seragam SMA saat musim dingin
Ini seragam SMA musim dingin dan semi
Ini seragam SMP
Ini seragam SMP untuk laki-laki
Ini seragam SD
Biasanya anak SD punya tas kotak seperti ini
Yang ini seragam TK
Terkadang anak TK juga punya tas kotak seperti SD

Nah itulah beberapa perbedaan sistem pendidikan di Jepang dan Indonesia.
Tertarik?



Salam,

Mitzi Alia.

Sunday, April 19, 2015

PROVIDER

Hello.

Sepertinya sudah lama sekali setelah terakhir saya menceritakan negeri sakura ini. Kali ini, saya akan sharing tentang provider. Loh kok provider? Ya, jujur aja, Jepang adalah negeri teraman dan negeri paling mudah segala sistemnya, KECUALI masalah SAMPAH dan PROVIDER. Untuk masalah sampah sendiri, saya juga masih belum terlalu mahir dalam memilah sampah-sampah sesuai dengan kategori yang ada di Jepang. Bahkan beberapa orang Jepang sendiri juga kewalahan dengan masalah ini.

Oke, berhubung saya sudah punya handphone (bukan maksud pamer), saya sudah melalui berbagai macam tahapan untuk mendapatkan benda ini. Pertama, sistem kartu SIM di Jepang tidak sama dengan di Indonesia, yang kita bisa membeli kartu dengan harga murah, dimana saja, kapan saja, siapa saja, dan harus mengisi pulsa untuk penggunaan kartu tersebut. Tapi, Jepang tidak memiliki sistem seperti itu. 




Ini adalah lambang provider di Jepang


Hanya ada 3 provider di Jepang, SoftBank, docomo, dan au. Setiap provider memiliki peraturan masing-masing untuk menjalin ‘kontrak’ (disini bukan membeli kartu, tapi menjalin kontrak dengan provider selama 2 tahun). Tapi, semua provider memiliki peraturan bahwa hanya orang yang berusia 20 tahun keatas yang bisa menjalin kontrak. Karena saya telah menjalin kontrak dengan docomo, saya akan bercerita lebih banyak detil tentang docomo.

docomo merupakan salah satu provider tertua di Jepang. Mengapa saya memilih docomo? Saya sempat ngobrol dengan senpai senpai, mereka bilang sinyal docomo lebih kuat daripada SoftBank, dan docomo memang lebih murah dari SoftBank. Senpai menyarankan docomo, karena itulah saya memutuskan utntuk mengambil docomo. Untuk menjalin kontrak dengan docomo, hal yang dibutuhkan adalah kartu atm, dan surat guarantor. Untuk apa kartu ATM? Kartu ini yang kemudian akan dijadikan alat pembayaran kita nanti selama kontrak. Lalu surat guarantor? Ya, ini adalah surat tertulis atas nama orang tua yang akan bertanggung jawab dengan saya (karena saya belum mencapai 20 tahun). Untuk kasus saya, guarantor saya adalah Chief utama dari International Course Program di Kyodai. Beliau pun mengisi form untuk diajukan ke docomo. Dan kebetulan karena Chief nya adalah orang Korea, pihak docomo juga meminta fotokopi dari residence card milik Chief. 


Ini form guarantor
Setelah berkas yang diminta telah lengkap, saya pun datang ke docomo shop untuk menjalin kontrak. Tapi ternyata tak semudah itu, prosesnya sangat lama, dan yang melayani pun berbahasa Jepang. Untunglah saya kesana bersama senpai yang bisa berbahasa Jepang. Mereka melihat berkas-berkas, menimbang-nimbang apakah ajuan saya bisa diterima atau tidak, baru kemudian setelah semua ok, saya diberi data mengenai HP yang dijual di shop docomo. Ada beberapa jenis HP yang ditawarkan seharga ¥0. Kok bisa? Ya memang ada, jadi apa maksudnya? Kita ga perlu bayar sama sekali? Bukan, bukan, ini artinya kita tak perlu lagi membayar untuk cicilan HP, dan bayaran perbulan kita tergantung dengan paket data yang kita pilih nanti. Tentunya sangat mengurangi biaya perbulannya, karena itu sangat saya sarankan untuk memilih HP dengan biaya cicilan ¥0. 

Setelah memilih HP yang diinginkan, mereka akan menawarkan berbagai paket data untuk internet dan SMS-telpon. Semuanya saya pilih yang stadar saja, agar tidak membebani biaya perbulan. Saya memilih paket SMS-telpon yang biasa seharga ¥2,700 dan paket internet 2GB seharga ¥3,500. Karena saya memilih HP dengan harga ¥0, maka biaya bulanan saya hanya ¥6,200. Mereka juga menawarkan fasilitas sejenis garansi, perawatan, aplikasi, dll yang menurut saya ini agak kurang penting, jadi saya tidak mengambilnya. 

Ini salah satu berkas yang saya dapat setelah menjalin kontrak
Berkas-berkas tersebut dimasukkan dalam buku ini dan dibawa pulang
Setelah semua jenis penawaran, barulah mereka membuat dokumen-dokumen, membawa HP-nya dan mengaktifkan SIM card nya. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kontrak provider itu kemudian di-print, dan saya harus menandatangani semua dokumen itu, sebagai tanda persetujuan. Barulah setelah semuanya rapih, saya membawa pulang HP saya.

Akhirnya saya mendapatkan HP
Secara umum, provider lain pun memiliki tahap-tahap yang sama. Yang saya dengar, bahwa SoftBank memiliki peraturan baru, yaitu pembayaran HP harus deposit di depan sebesar ¥70,000. Sehingga kita tidak bisa mendapatkan HP dengan cicilan ¥0. Dan bagi saya ini sangat memberatkan, maka dari itu saya tidak memilih SoftBank. Tentang au, saya tidak terlalu banyak mendapatkan info, yang saya dengar, prosesnya sama dengan docomo, tidak terlalu banyak beda.


Sungguh proses yang sangat rumit, kan? 

Salam,
Mitzi Alia

Sunday, April 12, 2015

International Course Program of Civil Engineering

Panjang ya? Lumayan. Itu adalah nama kelas saya selama berkuliah di Kyoto University. Tidak banyak dari mahasiswa lokal Kyodai yang mengetahui adanya International Course di Kyodai. Setiap tahun bisa berbeda-beda jumlah muridnya, tergantung penerimaannya. Tahun saya, kelas ini berisikan 14 orang internasional dan 10 orang Jepang. Lumayan banyak bukan orang Jepangnya? Seperti yang sudah saya jelaskan bahwa kelas ini termasuk dalam program Global 30 milik pemerintah Jepang. 

Tentunya banyak perasaan bergejolak saat saya diterima kampus ini, perasaan bahagia karena akhirnya saya bisa bersekolah di Jepang, perasaan sedih karena harus meninggalkan tanah air, dan perasaan takut untuk menghadapi rintangan di sana.

Awal kali pertama saya bertemu dengan teman sekelas adalah dengan beberapa anak yang tinggal di dorm yang sama dengan saya. Meski tidak semua anak internasional tinggal di sana. Berikutnya kami berkenalan lebih banyak saat health check up. Kebetulan sekali bahwa kita bertemu saat sedang antri untuk health check up. Kami pun berkenalan, dan pada hari yang sama, Kyodai sedang mengadakan sejenis open recruitment bagi yang ingin mengikuti club di Kyodai. Karena itulah kampus sangat ramai dengan mahasiswa. Mungkin sama dengan saat Open House Unit ketika di ITB.

Setelah health check up, saya dan beberapa teman sekelas saya berkeliling Kyodai untuk menyaksikan keramaian tersebut. Saya sebenarnya hendak mengikuti club, tapi saya takut karena saya tidak bisa berbahasa Jepang. Ada banyak sekali club di Kyodai, mulai dari sports, arts, dan music, bahkan di bagian sport ada seperty rugby, american football, skating, skiing, rowing, lacrose, sumo, kendo, aikido, dan masih banyak lagi olahraga yang tidak ada di Indonesia. Setelah puas berkeliling, kami pun berpisah. Sebab saya harus mengantar kepulangan ibu saya kembali ke Indonesia. Sedih, tapi saya harus bertahan, karena bersekolah di Jepang adalah hal yang saya inginkan. Tidak mungkin saya menunjukan wajah sedih kepada ibu saya yang hendak meninggalkan saya sendiri di negeri orang.

Hari-hari berikutnya saya lalui sendiri, ya bersama teman seperjuangan saya yang sama-sama dari Indonesia. Untungnya ada banyak senpai dari Indonesia yang berasal dari course yang sama seperti saya, sehingga saya bisa banyak bertanya jika ada hal yang saya bingungkan.

Sama seperti kampus di Indonesia, Kyodai pun memiliki opening ceremony untuk semua mahasiswanya. Yang berbeda adalah pakaian yang digunakan untuk menghadiri acara tersebut, yaitu setelan jas berwarna hitam. Mungkin memang tidak diharuskan berwarna hitam, tapi berwarna gelap. Kebanyakan memang menggunakan warna hitam. Opening ceremony tidak berlangsung di wilayah kampus, tapi di suatu gedung bernama Miyako Messe. Tidak berlangsung lama, hanya sebuah pidato panjang berbahasa Jepang dari president of Kyodai, dan opening ceremony pun selesai.



Inilah suasana opening ceremony

Setelah opening ceremony selesai, kami berjalan menuju kampus, untuk menghadiri guidance. Guidance pertama adalah untuk seluruh mahasiswa engineering di Kyodai, dalam bahasa Jepang. Guidance kedua adalah untuk International Couse, berbahasa inggris. Kami mempelajari bayak hal mengenai course ini dan beberapa peraturan penting seperti syarat lulus, lokasi kelas, timeline perkuliahan dan mata kuliah yang harus diambil. Pada dasarnya, mata kuliah yang kami ambil telah diatur oleh pihak universitas. Tapi kami harus tetap menambahkan beberapa matkul untuk memenuhi kuota ‘syarat lulus’. Dan setelah dihitung-hitung, saya mengambil 31 sks untuk semester 1 ini. Angka yang cukup banyak bila dibandingkan dengan sks kebanyakan di Indonesia. Tapi tentunya matkul yang saya ambil di awal ini kebanyakan adalah mata kuliah social sebagai tambahan. Sehingga belum terlalu rumit dalam pembahasannya.

Setelah guidance tersebut, ada welcome party yang dihadiri oleh seluruh mahasiswa international course dari angkatan pertama sampai angkatan saya, juga profesor yang akan mengajar di kelas nanti. Ini adalah ajang untuk saling mengenal satu sama lain tentunya.


This is my classmate!
Ini foto setelah welcome party
Inilah seluruh International Course dari angkatan pertama
Kelas saya untungnya kelas yang paling banyak memiliki perempuan jika dibandingkan dengan kelas sebelum-sebelumnya. Sungguh beruntung. Kelas saya terdiri dari 2 orang Indonesia, 1 orang Mongol, 1 orang Korea, 1 orang Mesir, 10 orang Jepang, dan 9 orang cina. Dari semua itu, 8 orang adalah perempuan. 

Hal paling menakjubkan dari perantau dan menjadi minoritas adalah, ketika saya bertemu orang Indonesia entah kenapa saya merasa sangat bahagia, seperti bertemu sahabat lama. Dan kami akan cepat akrab layaknya keluarga. Kami pun bisa langsung tahu dengan sekali tatap mata, bahwa kami dari tanah air yang sama. Ini sungguh perasaan yang sangat menakjubkan dan baru bagi saya.

Ya, itu cuplikan beberapa kisah dan pengalaman saya di awal adaptasi di negeri ini.

Salam,

Mitzi Alia.

Saturday, April 11, 2015

‘mantan’ Mahasiswi ITB

Pagi!

Mungkin kalian berpikir, kok mantan? Apakah saya DO? Tidak, tidak, saya keluar ITB dengan hormat. Surat keputusan rektor menunjukan bahwa beliau mengeluarkan saya dengan hormat atas pilihan saya untuk mengundurkan diri dari ITB. Ya, saya mengundurkan diri dari ITB, kampus yang katanya terbaik di tanah air ini.


Apa? Mungkin ada yang kesal dengan keputusan saya. Wajar, mungkin salah satu dari kalian yang ingin masuk kampus ini pasti merasa geram. Tapi tentu saja saya punya alasan atas pengunduran diri itu. Seperti yang saya katakan, bahwa saya lulus di Kyodai, sehingga saya memutuskan untuk meninggalkan ITB.

Lalu? Ya, sebagai alumni ITB yang pernah mengalami perkuliahan di ITB, saya akan sedikit sharing tentang kuliah di ITB.

Bagaimana? ITB mudah? Sulitkah? Ya, banyak yang bilang ITB itu susah masuk, susah pula keluar. Mungkin itu tidak sepenuhnya salah. Tidak, saya tidak bermaksud menakuti kalian, ini hanya berdasarkan pengalaman saya. Bagaimanapun saya masih bangga dengan almamater itu, sebutan alumni ITB masih saya sukai.


Memang, sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia, yang berisikan mahasiswa terbaik bangsa, sudah sepantasnya tidak mudah ditaklukan. Tidak seperti kampus lain, ITB memisahkan tahun pertama bagi para mahasiswa untuk kembali mengasah kemampuan SMA mereka. Barulah pada tahun kedua, mereka bisa memilih jurusan. Sistem di ITB mengharuskan kita untuk memasuki fakultas terlebih dahulu, bukan tertuju langsung pada jurusan. Ada 13 fakultas di ITB, yaitu:

  1. FTI (Fakultas Teknologi Industri)
  2. STEI (Sekolah Teknik Elektro dan Informatika)
  3. FTTM (Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan)
  4. FTMD (Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara)
  5. FTSL (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan)
  6. SAPPK (Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan)
  7. FITB (Fakultas Ilmu Teknologi Kebumian)
  8. FMIPA (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam)
  9. SF (Sekolah Farmasi)
  10. SITH-S (Sekolah Ilmu Teknologi Hayati-Sains)
  11. SITH-R (Sekolah Ilmu Teknologi Hayati-Rekayasa)
  12. FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain)
  13. SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen)

Yap, untuk informasi tentang masing-masing fakultas bisa dicari tahu lebih lanjut di web ITB.

Kuliah tahun pertama, banyak yang mengeluh tahun pertama itu sibuk lalala. Padahal kakak tingkat bilang, TPB itu singkatan dari Tahun Paling Bahagia, yang sebenarnya adalah Tahap Persiapan Bersama. Karena TPB cenderung lebih santai daripada penjurusan. Memang tidak salah. Saya yang belum melewati penjurusan pun tahu bagaimana sibuknya setelah penjurusan.

Mata kuliah yang dijalani selama di ITB tidak beda jauh dengan SMA, banyak yang bilang TPB itu seperti SMA kelas 4. Memang judul matkulnya tidak beda dengan yang di SMA, tapi materi yang dipelajari SUNGGUH BERBEDA dibandingkan saat SMA. Mereka yaitu kalkulus, fisika dasar, kimia dasar, bahasa inggris, olahraga, TTKI (Tata Tulis Karya Ilmiah), PTI (Pengenalan Teknologi dan Informasi), PRD (Pengantar Rekayasa dan Desain), dan pengantar untuk masing-masing fakultas. Beberapa fakultas juga ada mata kuliah gamtek atau gambar teknik.

Lalu apa bedanya dengan SMA? Kalkulus, fisika dasar dan kimia dasar yang dipelajari memang seperti mengulang materi SMA, tapi tentunya lebih konseptual, mendalam dan meluas. Di ITB, 3 matkul utama ini dibagi menjadi A dan B. Tentunya A lebih sulit dibandingkan B. Jika kimia A mendapatkan praktikum, kimia B tidak mendapatkan praktikum, hanya itu perbedaan di kimia A dan B, selebihnya materinya sama. Fisika A dan B sangat berbeda, fisika A jauh lebih susah dibandingkan fisika B, dan keduanya sama-sama mendapatkan praktikum.

Mata kuliah bahasa inggris dibagi ke dalam 3 kelas, Critical Reading, Writing, dan Presentation. Kita akan melalui placement test untuk mendapatkan salah satu kelas tersebut.

Olahraga? Mungkin dari kalian ada yang heran mengapa ada matkul olahraga. Sebenarnya saya pun heran, tapi bagi saya matkul ini hanya sebagai penggembira dan agar tetap menjaga kebugaran saya, meski olahraga yang dijalani cukup berat.

TTKI tidak jauh beda dengan bahasa Indonesia, kita mempelajari berbagai macam tata cara penulisan yang benar. Matkul yang cukup memusingkan tapi menambah wawasan.

PTI pun dibagi ke dalam A dan B. PTI A adalah matkul yang mempelajari microsoft word, excel dan presentation, sementara PTI B yang mempelajari bahasa pemograman menggunakan C++. 

Pengantar Rekayasa dan Desain, setiap fakultas berbeda mengenai apa yang dibahas, sesuai dengan kebutuhan setiap fakultas. Yang terakhir pengantar untuk masing-masing fakultas adalah sebagai pengenalan TPB untuk mengetahui apa yang akan dihadapi di setiap jurusan yang ada di fakultas tersebut.

Mungkin banyak dari kalian yang berpendapat TPB hanya buang-buang waktu, seharusnya kuliah adalah saatnya fokus dengan jurusan. Memang itu tak sepenuhnya salah, tapi dosen kalkulus saya, salah satu dosen lama di ITB, berkata bahwa TPB adalah masa yang sangat penting untuk kembali mengasah logika, cara pikir, dan pemahaman konseptual. ITB harus menghasilkan mahasiswa yang bisa berpikir secara meluas, cepat dan tepat. Karena itulah pengasahan semacam ini diperlukan demi menghasilkan bangsa yang diharapkan. Saya sangat setuju degan hal ini. Masa TPB juga sebagai uji kepantasan diri, mengukur diri apakah kita pantas di kampus ini, dan juga sebagai sarana menjaga rendah hati, karena di atas langit masih ada langit. Bisa saja kita merasa kita yang terhebat saat SMA, namun dengan masuk ITB kita akan sadar bahwa orang yang jauh lebih jenius dari kita bertaburan di kampus itu. Saya pun termasuk orang yang masih mengagumi anak-anak ITB yang memiliki otak cemerlang, saya sangat salut sebab banyak sekali yang sangat pintar, hingga saya tidak tahu lagi harus berkata apa kecuali berdecak kagum.

Selain masalah perkuliahan, tentunya pertemanan juga sangat penting. Ya, terutama di ITB, memiliki banyak link atau pertemanan sangatlah penting. Masa TPB ini juga sebagai sarana untuk memperbanyak teman, wawasan dan kenalan, baik itu dari angkatan sendiri atau dari angkatan di atas kita. Bagaimana caranya? Ikuti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan kepanitiaan secara aktif. Akan lebih mudah bagi TPB untuk aktif di unit dan panitia karena kecendrungan waktu kosong yang lebih banyak dibandingkan saat jurusan. Selain itu, untuk menghafal teman seangkatan pun akan lebih mudah karena gedung dan ruangan yang digunakan TPB sama untuk setiap fakultas. Sehingga kita akan sering bertemu teman dari fakultas yang berbeda. Lain halnya saat jurusan yang hanya menggunakan 1 gedung, sehingga kita akan sulit untuk bertemu teman dari jurusan lain.

Ini lokasi beberapa unit berkumpul, biasa disebut 'sunken'
Dengan mengikuti unit, kita akan mendapatkan relasi dan pertemanan. Namun biasanya setiap unit dan kepanitian memiliki kaderisasi. Jika kita lulus kaderisasi tersbut, maka kita akan dilantik menjadi anggota dari unit tersebut. Jika tidak, maka kita akan dikeluarkan. Memang sedikit merepotkan, jenis kaderisasi tiap unit pun berbeda-beda tergantung jenis unit yang kita ikuti. Tapi tentunya semua itu akan tidak sebanding nilainya bila kita berhasil bergabung ke dalam unit tersebut.

Itulah beberapa informasi mengenai ITB, berikutnya mungkin akan saya posting mengenai Jepang lagi.

Salam,
Mitzi Alia.

Friday, April 10, 2015

Tinggal di Jepang?

Konbanwa.

Sekitar seminggu sudah saya lalui di negeri orang ini. Ya, cuaca memang lagi sangat buruk. Hal yang paling disayangkan adalah karena cuaca yang kurang mendukung, saya tidak bisa melihat sakura lebih lama lagi. Sekarang bunga-bunga sakura sudah merontok karena hujan yang cenderung terus mengguyur tiap hari.


Inilah sakura
Sakura-nya mulai rontok
Ini penampakan dari gerbang dorm
Suhu pun sama parahnya. Saat musim semi seperti ini, suhu masih di bawah 10 derajat. Jika pun di atas 10 derajat hanya ketika hujan tidak mengguyur kota. Ini cukup menggangu, tentu saja, sebagai orang tropis yang tidak pernah merasakan suhu seperti ini tiap hari, butuh energi dan daya tahan yang kuat.

Pada hari pertama saya sampai di Osaka pun sedang hujan. Senpai bilang cuaca memang sedang ekstrim. Musim dingin kemarin pun termasuk yang ekstrim karena salju turun begitu lebat. 

Pertama kali saya datang ke negeri seperti lego ini, saya mendarat di Kansai International Airport. Imigrasi memakan waktu 3 jam, banyak turis yang datang saat itu karena musim semi identik dengan sakura. Hebatnya dari imigrasi disini adalah, saya bisa langsung membuat residence card. Memang hanya beberapa bandara di Jepang yang memiliki fasilitas ini, salah satunya yaitu Kansai International Airport, jadi saya tak perlu pergi ke kedutaan untuk mengurus hal ini. Saya juga langsung mendapatkan kartu tersebut setelah melewati imigrasi. Hebat bukan? Kemudian saya menuju dorm saya, yaitu Misasagi International House. Memakan waktu 2 jam dari Osaka. Keadaan dorm? Tentunya bagus dengan fasilitas lengkap dan harga yang sangat murah. Hanya ¥14,500 per bulan, sudah termasuk listrik, air dan gas. Meskipun kamarnya kecil dan kamar mandi luar, tapi saya cukup puas dengan fasilitas disini. Mungkin karena saya belum pernah mendapatkan hal ini di Indonesia.

Hal yang harus saya urus selama orang tua saya menemani adalah daftar ulang, pembukaan akun bank, registrasi dan pembayaran beberapa asuransi yang disarakan universitas untuk dibayar. Pertama saya ke suatu kantor, mungkin kalau di Indonesia disebut 'kelurahan' atau yang sejenisnya, yang akan mengurus pendataan bahwa saya tinggal di dorm saya selama 2 tahun (sesuai visa). Dan jika saya pindah lokasi, saya harus mengurusnya kembali di kantor itu. Di kantor itu pula saya mendapatkan kartu National Health Insurance. Selama pengurusan ini, saya ditemani senpai yang bertugas sebagai tutor. Ini sudah disediakan oleh universitas. Kemudian saya membuka bank, Yuuchou dan UFJ. Di bank Yuuchou ini saya membayar asuransi yang bernama Gakkenbai dan Gakensai. Saya tak tahu apa bedanya juga, tapi ini berhubungan jika terjadi sesuatu dngan saya saat di kampus. Kemudian asuransi terakhir saya bayar di COOP, yaitu sejenis kooperasi di kampus. Nama asuransinya Gakubai.

Setelah mengurusi banyak pendaftaran yang mengharuskan saya menulis ulang alamat dorm saya (yang tulisannya kanji rumit semua, sementara saya tidak bisa bahasa Jepang), perhentian terakhir adalah bicycle shop. Ya, karena biaya transportasi yang cukup mahal untuk ke kampus, yaitu sekitar Rp. 90.000 bolak balik, para senpai pun menyarankan untuk membeli sepeda sebagai alternatif transportasi. Saya membeli sepeda seharga ¥21,000 sudah termasuk asuransi selama 1 tahun. Saya kaget sekali, saya membeli sepda tapi seperti membeli sepeda motor, ada kartu garansi, dan bahkan plat nomor! Senpai bilang kalau naik sepeda malam-malam, lampu dinamo harus dinayalakan, kalau polisi melihat kita tidak menyalakan lampu, kita bisa dicegat. Ini hal yang baru bagi saya. 

Kebanyakan orang jepang menggunakan sepeda berkerangjang, karena disini sepeda seperti salah satu alat transportasi utama, banyak orang yang menggunakan sepeda untuk pergi ke tempat belanja. Saya pun membeli sepeda berkeranjang dan ber-gear. Senpai bilang gear sangat penting karena mempermudah saat jalan.

Satu hal yang belum saya urus adalah masalah handphone. Tentunya ini menjadi salah satu masalah paling penting. Bagaimana saya menghubungi keluarga tanpa handphone? Ya, sistem di Jepang memang berbeda. Saya tidak bisa membawa hp saya dari Indonesia dan membeli kartu SIM di sana. Sistem disana mengharuskan kita untuk 'menjalin kontrak' dengan provider. Hanya ada 3 provider di Jepang, SoftBank, docomo dan au. Ketika kita menjalin kontrak dengan salah satu provider, mereka akan memberikan tagihan perbulan. Harga tersebut sudah termasuk harga penggunaan hp seperti sms, telepon dan internet, dan juga cicilan HP tersebut. Mungkin istilah 'beli kartu dapat hp' bisa juga digunakan, hanya saja 'harga kartu' tersebut sama dengan harga handphone. Jadi pada dasarnya tidak ada bedanya. Kontrak biasanya diadakan selama 2 tahun. Jika sudah lebih dari 2 tahun, kita bisa mengganti provider atau tetap pada provider yang lama.

Mengapa saya tidak bisa langsung membeli hp? (bahkan sampai sekarang pun saya belum mendapatkan hp!) Karena peraturan yang dibuat pemerintah Jepang cukup ketat. Sebenarnya setiap provider memiliki peraturan yang berbeda-beda. Seperti SoftBank yang mengharuskan pelangganya membayar deposit sebesar ¥70,000 untuk jaminan bahwa pelanggan akan membeli hp yang kita inginkan, tapi tidak membutuhkan surat rekomendasi dari orang dewasa. Di Jepang, warga di bawah 20 tahun wajib memiliki 'guarantor' orang Jepang jika ingin memiliki hp. Karena saya ingin kontrak dengan docomo, yang saya butuhkan adalah kartu ATM, dan surat rekomendasi dari Profesor saya di Kyoto University. Saya belum mendapatkan surat rekomendasi tersebut, sehingga saya tidak bisa membeli hp.

Yah, mungkin itu beberapa hal yang akan diurus jika pertama kali datang ke Jepang untuk tinggal dalam jangka waktu tahun.



Salam,

Mitzi Alia

Sunday, April 5, 2015

Pilihan Terbaik

Konnichiwa.

Mungkin beberapa dari kalian ada yang tidak mengerti dengan bahasa di atas. Ya tentunya bukan bahasa yang saya gunakan sekarang. Beberapa yang mengerti, mungkin tidak berpikir bahwa ini jam yang tepat untuk mengutarakan kalimat tersebut.

Tidak banyak basa basi, tidak pula banyak omong kosong. Bukan tipe saya untuk berbicara banyak, tapi menulis banyak.


Inilah Kyoto University
Jadi inilah kampus lamaku, Institut Teknologi Bandung
Ya, saya adalah salah satu mahasiswi Kyoto Univeristy. Mungkin beberapa telah tahu track record Kyoto University, atau Kyodai, ini. Tentunya saya sangat beruntung bisa mendapat kesempatan untuk berkuliah di kampus terbaik kedua se-Jepang ini. Bahkan orang Jepang pun sangat menginginkan untuk melanjutkan sekolah di kampus ini. Banyak informasi yang saya dapatkan bahwa untuk bisa berkuliah di Kyodai, membutuhkan usaha yang sangat besar karena seleksi yang cukup ketat dan sulit. Kyodai bagaikan ITB bila disandangkan dengan Indonesia, meskipun jika ITB dibandingkan dengan Kyodai, tentunya hal itu tidak akan sama.

Banyak yang bertanya, "jalur apa yang kamu gunakan? Bagaimana bisa masuk?" Saya tahu, saya memang bukan orang terpintas di SMA saya dulu, selama saya berkuliah di ITB selama 1 semester pun, saya bukan termasuk IP teratas. Mungkin ini sepenuhnya keberuntungan untuk bisa berkuliah di kampus bergengsi seperti Kyodai ini. Saya akan menceritakan bagaimana saya bisa mendapatkan kampus ini.

Sejak SMP, saya sangat menginginkan untuk melanjutkan sekolah di Jepang. Ibu saya paham betul akan kemauan itu, sehingga beliau, sebagai guru BK di salah satu SMA cukup ternama di Indonesia yaitu MAN Insan Cendekia, mencari berbagai jalur untuk saya bisa melanjutkan sekolah di Jepang. Selama SMA, saya sekolah di sekolah asrama di Banten, yaitu SMAN Cahaya Madani Banten Boarding School. Sekolah gratis yang seleksinya dibutuhkan benerapa kali tahapan. Meskipun sekolah saya jauh dari rumah, hal itu tidak mengurangi saya untuk tetap mempersiapkan diri untuk melanjutkan kuliah di Jepang.

Tentunya, hal paling penting yang dibutuhkan jika kamu akan bersekolah di luar negeri adalah bahasa inggris. Karena itu, di semester ke 6 saat SMA, saya mati-matian mempersiapkan diri untuk menghadapi salah satu tes bahasa inggris, yaitu IELTS. Mengapa saya tidak menggunakan TOEFL? Karena sebelumnya saya pernah mencoba tes TOEFL IBT dan bagi saya tes itu lebih sulit jika dibandingkan dengan IELTS, karena itulah saya memilih IELTS. 

Ya, jalur yang saya ikuti adalah melalui jalur kelas internasional. Belakangan ini, Jepang sedang membuka jalur G30, atau Global 30, dimana beberapa univeristas di Jepang, membuka kelas internasional di jurusan tertentu. Salah satunya yaitu Kyodai, membuka kelas internasional di jurusan teknik sipil. Inilah yang berikutnya akan menjadi kelas saya.

Persyaratan dari Kyodai cukup sederhana. Saya hanya perlu mengirimkan berkas berupa rapot semester 1-5, ijazah, SKHUN/skor EJU, surat rekomendasi dari sekolah, yang semuanya telah di-translate dalam bahasa inggris, dan skor  IELTS/TOEFL internasional. Kyodai, berbeda dengan universitas lain, memulai tahun ajarannya di musim semi, berarti april 2015. Sementara di Indonesia, saya lulus SMA pada mei 2014. Cukup banyak waktu sebelum saya memulai kuliah di Kyodai. Dan lagipula, Kyodai membuka pendaftaran kelas internasional ini pada september 2014. Untuk mengisi kekosongan yang belum pasti ini, saya memutuskan untuk tetap mengikuti SBMPTN di Indonesia, dan akhirnya diterima di ITB fakultas SAPPK.

Saya berkuliah di ITB selama 1 semester, selain untuk sebagai cadangan bila saya tidak diterima Kyodai, saya juga mendapatkan banyak pelajaran, pertemanan, organisasi, dan wawasan selama kuliah di ITB. Saya mengikuti perosedur pendaftaran kelas internasional di Kyodai dan lulus pada tahap awal berkas. Saya pun dipanggil untuk mengikuti wawancara, yaitu sekitar bulan oktober. Wawancara dilakukan denga Skypee, di Jakarta. Wawancara berlangsung sekitar 1 jam, dengan berbagai pertanyaan yang menjurus dengan pelajaran. 

Pengumuman akhir adalah tanggal 10 november. Sungguh hari yang saya tunggu, dan saya tidak menyangka bahwa saya lulus sebagai salah satu siswi kelas internasional di Kyodai. Setelah itu pun, masih banyak yang perlu saya urus, tentang visa, izin tinggal, dan beasiswa. Tapi semua hal itu dibantu diurus dari pihak universitas. Mereka akan memberi kita form Certificate of Eligibility yang setelah mereka lengkapi, akan mempermudah saya untuk mengurus visa tinggal di Jepang.

Setelah itu pun, beasiswa saya masih belum jelas apakah benar saya dapat beasiswa, dan berapa jumlahnya. Hingga pertengahan maret, barulah saya mendapat kejelasan bahwa saya mendapat beasiswa sebesat ¥32000 dari Kyodai dan ¥48000 dari Jasso karena saya juga lulus monbukagakusho, tapj melepasnya karena saya lebih memilih Kyodai. Total beasiswa saya per bulan adalah ¥80000. 

Begitulah cara saya mendapatkan kampus ini sebagai universitas saya, dan asal usul beasiswa saya. 

Berikutnya mungkin saya akan menjelaskan lebih detil, tentang perkuliahan di ITB, tinggal di Jepang, dan berbagaimacam cara untuk melalui hari hari saya.


Salam,
Mitzi Alia.