Sunday, May 31, 2015

Sungai

Konbanwa.

Tumben saya post malem-malem ya, yah, tidak apalah, mumpung saya lagi mengerjakan tugas yang berhubungan dengan 'sungai' saya akan sedikit membahas sungai di Jepang. Hampir semua sungai di Jepang mirip sih, jadi saya hanya akan membahas satu sungai yang cukup terkenal di Kyoto, yaitu Kamo-gawa.

Minggu lalu saya baru saja field observation dalam mata kuliah 'Introduction to Global Engineering'. Mata kuliah ini seperti mengenalkan submajor di dalam jurusan saya, yaitu Civil Engineering. Kebetulan dalam kelas kali ini, saya mendapatkan kelas urban and landscape design dan kita pun menganalisa landscape dari sungai besar di Kyoto, untuk mengetahui elemen-elemen yang berpengaruh di sekitar sungai tersebut. 

Ini Kamogawa dari satu sudut, bisa liat Gunung Daimonji
di belakangnya
Ini persimbangan Kamo-gawa, di dekat stasiun Demachiyanagi
Kamo-gawa dari bagian atas
Selama field observation ini, saya banyak mendapat informasi mengenai sungai-sungai di Jepang, terutama Kamo-gawa. Ternyata memang, Jepang sudah lebih dulu maju dari Indonesia. Mengapa? Menurut cerita yang saya dengar dari Profesor saya, Jepang telah memulai industrialisasi sejak tahu 1890, dan di saat itu, banyak sekali industri-industri yang memanfaatkan sungai sebagai limbah pembuangan. Sadar akan hal tersebut yang salah, bahwa air adalah sumber kehidupan mereka, 20 tahun kemudian akhirnya mereka memulai memindahkan industri ke daerah pinggir kota dan membuat regulasi yang sangat ketat mengenai pembuangan limbah pabrik mereka. Yang membuat saya terkejut, mereka juga mengadakan kegiatan volunteer untuk membersihkan sungai yang telah terkontaminasi. Saya penasaran apa yang mereka lakukan untuk mengatasi sungai terkontaminasi itu, tapi profesor tidak memberitau lebih lanjut mengenai hal itu, dan juga sepertinya agak sulit baginya untuk menjelaskan dalam bahasa inggris. Kegiatan sukarelawan untuk membersihkan sungai itu juga masih berlangsung samapai sekarang. Tak heran sungai di Jepang sangatlah bersih dan indah. 

Tumbuhan sengaja dibiarkan tumbuh untuk menjadi
tempat tinggal ikan ikan kecil
Di Indonesia, tak akan terpikirkan oleh saya untuk main air di sungai, karena sungai di Indonesia berwarna coklat. Tentunya tidak ada yang mau mandi atau bermain di sungai seperti itu. Di saat yang sama juga, saya sadar bahwa di waktu Jepang menyadari pentingnya sungai, Indonesia justru baru memulai industrialisasi dan membuang sampah juga limbah di sungai. Sungguh ironi. 

Sungai yang telah dibersihkan itu juga tidak hanya dibiarkan alami, tapi dibangun sedemikian rupa sehingga warga tertarik untuk menghabiskan waktu di pinggir sungai, untuk piknik, sekedar berjemur, atau lari dan bersepeda di sepanjang aliran sungai. Sistem undakan, aliran pembuangan air dan shotcrete juga diaplikasikan dengan baik di sungai. Jembatan-jembatan dibangun dengan struktur yang baik (lain kali saya akan membahas tentang jembatan, karena Jepang juga sangat terkenal dengan jembatan yang kokoh).

Ini shotcrete yang diaplikasikan di pinggir sungai
Ini jembatan antar jalan, di bawahnya ada jalanan sepanjang
aliran sungai untuk jogging atau berseda
Undakan air untuk megurangi kecepatan aliran air
Kamo-gawa juga sebagai tempat rekreasi
Beberapa anak yang bermain di Kamo-gawa
Bersama teman sekelas, kami berdiskusi mengenai sungai-sungai yang ada di negara masing-masing. Saya merasa, mengikuti kuliah di luar negeri memang sangat menguntungkan, meski berat. Wawasan saya bertambah sangat pesat. Selain karena saya adalah foreigner, mata kuliah di kelas saya dan teman internasional mendukung saya untuk semakin berpikiran meluas. Tidak seperti di Indonesia, saya tidak akan bisa mendapatkan pengetahuan seperti ini. 

Teman-teman saya melakukan observasi
Yah sempet juga lahya ambil foto
Mata kuliah saya juga sangat beragam, kebanyakan yang 'mendokusai' itu malah menambah wawasan saya, yah memang karena sulit dan berat itulah jadinya saya harus melakukan berbagai pencarian, penelitian dan analisa. Seperti saat saya melakukan tugas mengenai kelas struktur dan kelas geomekanik, yang mengharuskan saya membaca berbagai jenis paper dan menganalisa sendiri cara kerja masing-masing sistem atau struktur. Sungguh ini ngerepotin banget, tapi setelahnya, saya jadi tau tentang hal itu, dan membuat saya memiliki wawasan lebih luas. Yah, memang semua akan indah pada saatnya.


Salam,
Mitzi Alia

Friday, May 29, 2015

Teman

Seperti hal yang tidak penting, tapi mungkin penting untuk kalian yang ingin tau apa rasanya jadi perantau di negeri orang. Mungkin tidak semua orang berpikiran sama, ada aja yang tidak setuju dengan ini, tapi ini hanya catatan saya, apa yang saya rasakan selama di sini. Mungkin saya terlalu sensitif dan berlebihan bagi kalian, tapi tidak ada tambahan apapun dari tulisan saya.

Saya ingin sedikit berbagi rasa. Mungkin para perantau di negeri orang telah merasakan hal ini berkali-kali, dan saya sebagai pendatang baru, entah kenapa harus merasakan ini di saat yang tidak tepat. Saya tau bentar lagi midterm exam akan datang, bahkan tugas-tugas mulai semakin sulit. Tapi justru ini lah yang sangat mengganggu saya. Entah sudah keberapa kali saya merasakan kehampaan, kesepian, kebosanan dari kehidupan saya ini. Kupu-kupu, mungkin kata-kata yang tepat. Memang saya tak punya waktu untuk santai, tapi akhir-akhir ini saya kehilangan gairah untuk belajar. Awalnya saya pikir saya jenuh, tapi saya sadari bukan itu penyebabnya.

Saya hanya butuh teman.

Teman yang tidak hanya sekedar nama, teman yang dulu bisa saya dapatkan semasa di ITB, teman seperjuangan, teman yang bisa saya ajak diskusi, belajar bersama, main bersama, tertawa bersama, gabut bersama, dan kami bisa saling support dalam masalah kuliah.

Di sini saya tidak memiliki itu. Entah sudah berapa kali saya berusaha mencoba lebih dekat dengan teman-teman internasional saya, tapi tidak bisa. Selalu ada sesuatu yang menjadi penghalang untuk bisa lebih dekat dengan mereka. Saya tidak bermaksud rasis atau sejenisnya, tapi itulah yang saya rasakan. Perbedaan background, adat dan kebiasaan, membuat saya harus lebih banyak 'memaklumi' dan tidak bisa menjadi diri saya yang sebenarnya, saya yang harus beradaptasi. Ini membuat saya frustasi. Di samping saya butuh teman untuk mendukung saya dalam akademik, saya juga butuh teman sepemikiran, dan sejalan dengan keinginan saya untuk bisa menggali potensi saya.

Ini yang tidak saya dapatkan di sini. Teman. Bukan hanya teman dalam arti harfiah, tapi arti 'teman' sesungguhnya, secara batin.

Akhir-akhir ini saya sering sekali stuck dengan tugas, dan membuat saya frustasi karena tidak tau harus minta bantuan pada siapa. Memang ada teman sekelas saya yang dari indonesia juga, tapi dia berbeda dengan saya, saya tidak bisa seutuhnya menjadi diri saya. Dia bisa belajar dengan sendiri, sementara saya tidak. Saya juga tidak bisa terus-terusan bergantung dengannya. Dia bisa dengan mudah mendapatkan teman, dekat dengan mereka, tidak seperti saya. Dia memiliki wawasan luas, tidak seperti saya. Saya hanya gadis kikuk yang sulit sekali untuk mendapatkan teman di awal permulaan. Tapi saya sadar bahwa saya bukan tipe orang yang bisa hidup tanpa teman, bukan tipe orang yang suka menyendiri dan bisa menyelesaikan semua masalah sendiri. Saya butuh teman, tapi saya menyerah untuk mendapatkannya. Kontradiksi sekali.

Saya juga sempat berharap banyak dengan PPI daerah Kyoto, berharap bahwa mereka bisa menjadi keluarga saya yang baru, yang bisa dekat dengan saya secara batin, dan membantu saya untuk menjadi diri saya sendiri. Tapi kenyataan tidak semanis itu, tidak seperti di film-film bahwa kehidupan itu indah. Sosialisasi sungguhlah tidak semudah apa yang kau pikirkan.

Tidak semua warga Indonesia di daerah Kyoto tergabung dan aktif dalam PPI, yah mungkin ini hal wajar saja. Tapi banyak dari mereka yang memang benar-benar ke Jepang untuk menghindari orang Indonesia, mereka tak lagi mau berteman dengan orang Indonesia. Hal ini membuat saya terkejut. Setelah bergabung pun, ternyata apa yang saya rasakan tidaklah sehangat yang saya bayangkan. Tidak ada kedekatan secara batin. Mungkin karena saya masih terlalu muda, dan kebanyakan anggota PPI adalah orang dewasa yang sudah berkeluarga atau setidaknya dalam master degree. Ini semakin menyulitkan saya untuk mendapatkan teman seperjuangan yang saya inginkan.


Ini saat acara kumpul PPI Kyoto
Ini 'teman' seperjuangan saya
Saya pikir, bukankah kita minoritas? Seharusnya, kita secara tidak langsung akan merasa ingin bergantung dengan minoritas yang lain bukan? Ingin saling berbagi perjuangan dengan sesama minoritas bukan? Tapi kenapa saya tidak merasakan kekeluargaan yang erat di dalamnya? Apa yang salah?

Bahkan saat PPI Kyoto hendak mengadakan acara budaya Indonesia pun, hanya sedikit sekali yang berpartisipasi, menolak dengan berbagai alasan. Bukankah ini kesempatan yang tepat untuk saling mengenal sesama orang Indonesia? Tidakkah kau malu nanti jika berpapasan dengan orang Indonesia saat sedang bersama teman non-Indonesia, tapi sebagai sesama Indonesia, kalian tidak saling sapa?

Mungkin ada beberapa kalian yang berpikiran ini hal yang terlalu berlebihan untuk dipikirkan, tapi tolonglah, sebagai sesama warga minoritas, saya hanya ingin kita lebih dekat, karena kita memiliki beban dan perjuangan yang sama.

Saya merasakan kehangatan dan kekeluargaan yang mendalam selama di ITB yaitu di sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa Kebudayaan Banten, atau biasa disebut Debust. Kebanyakan anggotanya adalah yang berasal dari Banten, entah kenapa saya merasakan ikatan yang kuat di antara kami, bahkan pada kakak tingkat, sudah seperti sodara dan adek kakak. Sampai sekarang pun, merekalah yang menjadi warna hidup saya, meski hanya sebatas kontak dunia maya. Mereka yang selalu membuat saya kangen akan Indonesia, selain keluarga saya sendiri. Inilah yang saya harapkan pada awalnya, ketika masuk ke lingkungan PPI Kyoto.

Ini beberapa anggota Debust
Ini saat kami menampilkan tarian dari Banten
Tim penari saya
Ini saat acara perpisahan kejutan
Perpisahan ini untuk melepas saya yang pindah ke Jepang
Tidak semua dari mereka seangkatan dengan saya
Tapi, inilah keadaannya, saya lagi-lagi harus 'beradaptasi' untuk survive di sini. Semoga saya masih tetap bisa mempertahankan kepribadian asli saya, meski harus menahan diri selama 4 tahun di sini.

Salam,
Mitzi Alia.

Friday, May 22, 2015

Structural Engineering

Hisashiburi ne.

Wah sudah 2 minggu sejak golden week. Yah, sangat sibuk. Bentar lagi sudah masuk minggu midterm. Tak heran sebagian dosen memperbanyak PR, report, dan tugas presentasi. LELAH KAWAN. Yah, inilah rasanya kuliah di negeri orang. Kupu-kupu ya, bisa dibilang gitu. Sekalinya ada hari libur seperti sabtu dan minggu pun saya gunakan untuk mengerjakan tugas minggu depan, supaya tidak numpuk di waktu deadline. Selain tugas juga saya harus belajar sedikit demi sedikit, mempersiapkan ujian nanti. Saya juga ikut les privat bahasa Jepang, dan sensei meminta saya untuk menghapalkan 128 kanji. Oke, saya tak lagi punya waktu santai.

Yah, selain kesibukan yang saya lewati akhir-akhir ini, saya baru saja dikenalkan dengan kelas structural engineering. Seperti judul post kali ini, saya sangat tertarik dengan major ini, sesungguhnya. Karena tentunya Jepang sudah sangat terkenal dengan berbagai structure yang telah mereka buat dan memiliki kemampuan tingkat atas, contohnya saja seperti skyscraper, bridge, dam, rock anchor, water tunnel, underwater tunnel, dan sebagainya.

Mengikuti kelas ini, telah memberi saya lebih banyak wawasan tentang structural engineering. Dosen saya membagi kelas dengan kelompok yang terdiri dari 2 orang, oke maksudnya berpasangan. Dan masing-masing dari kami harus mempresentasikan sebuah struktur, bagaimana cara kerjanya, bahannya, juga case study-nya. Karena hasil dari presentasi itu yang paling menarik bagi saya adalah mekanisme skyscraper, maka saya hanya akan membahas skyscraper kali ini.

Banyak dari teman-teman saya mempresentasikan skyscraper tertinggi di dunia, seperi Tokyo Skytree di Tokyo (634m), Burj Khalifa di Dubai (830m) dan Canton Tower di Guangdong (600m). Mereka menceritakan mekanisme pembuatan gedung tersebut sehingga bisa tahan dengan hempasan angin, getaran tektonik, dan juga cara menjaga kestabilan gedung agar tetap berdiri menjulang.

Tokyo Skytree
Canton Tower
Burj Khalifa
Saya juga baru tau ada mekanisme bernama "tuned mass damper" yang biasanya diposisikan di bagian atas skyscraper yang berfungsi untuk menjaga kestabilan gedung tersebut. Caranya yaitu, ketika gedung tersebut mengalami goyangan ke kanan, bola damper ini akan bergerak ke kiri, dan juga sebaliknya, sehingga meniadakan goyangan yang dirasakan gedung.

Contoh mass dumper
Mass dumper dari dekat
Ini cara kerja mass dumper
Selain karena mekanisme itu, skyscraper tersebut juga punya ciri khas masing-masing untuk mempertahankan gedungnya. Contohnya, Tokyo Skytree dengan bentuk tripoid nya, yaitu desain yang dibuat mirip dengan tripod kamera. Tokyo Skytree memiliki fondasi yang kuat, dilambangkan seperti akar yang kuat untuk menopang pohon besar.
Bentuk fondasi Tokyo Skytree
Struktur tripoid Tokyo Skytree
Sementara Canton Tower memiliki bagian "twist" di tengah gedungnya, yang merubah arah oval bagian dasarnya. Canton pada dasarnya hanya terdiri dari 3 pattern, yaitu columns, rings, dan braces. Pattern ini disusun sedemikian rupa, menghasilkan struktur geometri yang rumit dan kuat.

Struktur Canton dari atas
Ini bagaimana "twist" Canton didasari
Umumnya, gedung skyscraper memiliki celah-celah atau pattern-pattern steel seperti Tokyo Skytree dan Canton Tower di bagian luar gedung, untuk mengurangi kecepatan angin yang datang dengan memecahnya di bagian celah-celah pattern steel tersebut. Tapi, tidak bagi Burj Khalifa yang memiliki konsep lain untuk meminimalisir hempasan angin yang menerpa gedung setinggi 830m ini. 

Burj Khalifa didesain sangat unik, membentuk segitiga yang berbeda dengan Tokyo Skytree. Bentuk yang unik ini, selain menjadi ciri khas Burj Khalifa, juga menjadi sanggahan yang kuat untuk menahan gedung tertinggi di dunia ini.

Ini dasar bentuk Burj Khalifa
Desain Burj Khalifa sangat unik, saya pun terpesona melihat kehebatan mekanisme gedung tersebut. Segitiga itu juga tidak hanya untuk memperkuat fondasi gedung, tapi juga untuk memecah kecepatan angin yang menabrak gedung, karena seifat fluida udara, yang akan terpecah bila menabrak ujung segitiga, dan juga akan memperlambatnya ke arah lain.

Bentuk unik Burj Khalifa
Mekanisme angin yang dihadapi Burj Khalifa
Saya sangat beruntung bisa mengetahui hal ini, dan saya senang bisa mempelajari banyak dari kelas ini. Saya berharap bisa terus memahami structural engineering, sehingga saya bisa menerapkannya di Indonesia kelak.

Sebagai penutup, ini beberapa perbandingan skyscraper di dunia.



Salam,
Mitzi Alia.

Friday, May 8, 2015

Golden Week

Wah apa itu? 
Hari dimana kita liat emas? Oke ini ga lucu sih.

Jadi, golden week ini memang terjadi tiap tahun di Jepang. Lalu, apa itu golden week? Yaitu hari dimana kita mendapatkan libur panjang yang lebih dari 3 hari karena tanggal merah yang beruntutan. Kok bisa? Memang kalender nasional di Jepang menentukan hari libur yang panjang ini. Liburnya juga libur nasional karena hari anak, hari hijau, dan 1 hari libur untuk peringatan yang lain. Tapi karena 3 hari libur ini berimpitan dengan hari sabtu dan minggu, saya pun mendapat 5 hari libur. Libur yang cukup panjang di awal semester bukan?

Yap, jadi kemarin, tepatnya 2-6 mei, itulah golden week. Semua orang telah menantikan hari ini untuk bisa berlibur atau sekedar beristirahat di rumah masing-masing. Yang jelas, libur panjang ini tentunya sangat dimanfaatkan oleh orang Jepang. Lokasi-lokasi wisata terkenal pasti sangat ramai.

Lalu? Oh tentunya saya tidak mau kalah, saya juga ikutan mengabiskan golden week dengan jalan-jalan. Tapi sayangnya saya tidak bisa fully merayakan libur panjang ini, karena banyak tugas yang harus saya kerjakan, ditambah saya juga butuh istirahat.

Hari pertama golden week yaitu sabtu, di hari ini saya tidak pergi kemana-mana, mengerjakan tugas, PR, dan laporan selagi banyak waktu kosong. Selain itu juga saya nyuci, bersih-bersih kamar, menulis, belanja, yaah sekitar itu saja. Hari minggu esoknya, saya juga memutuskan untuk di dorm, menyelesaikan apa yang belum selesai.

Hari senin, saya sudah tidak tahan untuk tetap diam di dorm, akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan di daerah kota Kyoto, dengan teman saya. Alhasil, kami ke daerah shijo, melihat keramaian kota yang dipenuhi gedung-gedung tinggi. Oke, saya memang tinggal di desa Kyoto, wajar saja saya jarang melihat segitu banyak orang dan tingginya toko-toko dan mall. Kami hanya berkeliling, karena kami tau kalau harga yang dipasang bukan buat ukuran kami lol. Sesekali jika ada yang murah, barulah kami membelinya.


Ramainya orang di Shijo
Salah satu cafe yang kami lihat di Shijo
Uniknya, bagian samping cafe adalah sungai bening
Pojok toko Flying Tiger di shijo, unik bukan?

Kami makan siang di resto udon, dan disini saya pertama kalinya mencoba udon tanpa kuah! Astaga, ternyata ada ya udon tanpa kuah.


Ini resto udon yang kami singgahi
Dan ini udon tanpa kuah yang saya coba

Kami juga sempat melewati Kyoto City Hall (Kyoto Shiyakusho), bangunan yang besar dan unik. Dan setelahnya, kami mampir di Holly's Cafe, memanjakan perut untuk cemilan sore. Duh duh.


Inilah Kyoto City Hall
Ini Holly's Cafe
Dan menu yang kami pesan
Setelah puas berkeliling, melihat-lihat, dan mengenal daerah shijo, kami pun mengunjungi International Manga Museum. Oke, awalnya saya memang ngga tau apa yang akan ada di dalamnya, tapi kalau boleh dibilang, museum ini lebih tepatnya sama dengan perpustakaan khusus komik yang memiliki koleksi hingga ribuan komik, terutama komik Jepang. Harga tiket masuk ke museum ini yaitu ¥800.


Museum Manga tampak luar
Salah satu lorong di dalamnya
Suasana di dalam sunyi, seperti perpustakaan
Salah satu rak koleksi komik yang ada
Setelah dari situ, kami memutuskan untuk menghabiskan malam di kota, akhirnya kami pergi ke Kyoto Station. Di sinilah pusat kereta di Kyoto. Jangan berpikir bahwa kalau stasiun, isinya hanya loket kereta, tidak, tidak. Kyoto Station memiliki 6 lantai yang keseluruhan lantainya berisi toko, restoran, dan bahkan hotel! Desain stasiun-nya juga sangat unik. Persis di depan Kyoto Station ini, kami bisa melihat Kyoto Tower. Wow, sungguh pemandangan kota yang indah saat malam hari.

Ini Kyoto Station tampak depan

Dan ini Kyoto Tower, dilihat dari depan Kyoto Station
Ini bagian dalam Kyoto Station, keren kan?
Saat kami kesana, ternyata hari anak, sehingga ada seperti ini
Ini pemandangan Kyoto dari atas Kyoto Station
Setelah puas melihat Kyoto Station, kami memutuskan untuk mencari makan malam, dan memilih restoran Italia. Soalnya kami juga takut untuk memilih resto yang aneh-aneh, karena kebanyakan resto pasti memiliki babi sebagai salah satu menu-nya.


Ini yang kami pesan
Dan akhirnya kami pun pulang, memang benar, pemandangan malam sangat luar biasa bagusnya. Kau bisa melihat gemerlap lampu-lampu gedung tinggi dengan kerapian kota yang sangat luar biasa. Kami pun sampai di dorm sekitar jam 10.30.
Cantiknya pemandangan malam
Esoknya, belum puas berjalan-jalan di kota, kami pun menuju salah satu lokasi wisata di Kyoto, kuil terkenal dengan 1000 gate-nya, yaitu Fushimi Inari-taisha. Ya, ini adalah salah satu kuil paling terkenal di Kyoto. Masuknya gratis, hanya saja kita harus mendaki sekitar 200 meter untuk mencapai puncak. Selama perjalanan mendaki itu, kami melewati tangga yang dihias oleh gerbang-gerbang kuil berwarna oranye.


Ini gerbang utama
Dan ini beberapa gerbang awal
Lalu melalui beberapa gerbang kecil
Inilah tangga-tangga yang harus didaki
Ini kuil utama sebeum gerbang utama
Pendakian yang rendah, tapi ternyata cukup melelahkan. Pemandangan yang kami lewati juga sangat indah dan terawat. Meskipun kami tidak bisa apa-apa selain mendaki, foto, dan turun, tapi kami mempelajari banyak budaya Jepang. Di setiap perhentian dakian, ada kuil untuk berdoa, dan juga kuburan-kuburan orang-orang tertentu.


Pemandangan yang kami dapat saat di atas
Gantungan kepala musang, berisi harapan-harapan dan doa
Fushimi Inari sangat terkenal dengan musang
Setelah naik dan turun, kami pun melihat beberapa aksesoris yang ditawarkan, dan istirahat. Ada beberapa penjual makanan, dan kami membei Taiyaki dan Takoyaki.


Ini stand penjual Taiyaki
Dan inilah taiyaki yag saya beli

Semakin sore, sudah saatnya kami pulang, sebelum malam, karena saya memakai sepeda ke lokasi Fushimi Inari ini. Saya ngga berani kalau harus mengendarai sepeda malam-malam, beresiko.

Dan alhasil, esok harinya, di hari terakhir golden week, saya pun tepar seharian. Yah, tapi lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa saat golden week.

Masih banyak lokasi cantik di Kyoto yang belum saya kunjungi, tunggu kisah selanjutnya!


Salam,
Mitzi Alia