Friday, May 29, 2015

Teman

Seperti hal yang tidak penting, tapi mungkin penting untuk kalian yang ingin tau apa rasanya jadi perantau di negeri orang. Mungkin tidak semua orang berpikiran sama, ada aja yang tidak setuju dengan ini, tapi ini hanya catatan saya, apa yang saya rasakan selama di sini. Mungkin saya terlalu sensitif dan berlebihan bagi kalian, tapi tidak ada tambahan apapun dari tulisan saya.

Saya ingin sedikit berbagi rasa. Mungkin para perantau di negeri orang telah merasakan hal ini berkali-kali, dan saya sebagai pendatang baru, entah kenapa harus merasakan ini di saat yang tidak tepat. Saya tau bentar lagi midterm exam akan datang, bahkan tugas-tugas mulai semakin sulit. Tapi justru ini lah yang sangat mengganggu saya. Entah sudah keberapa kali saya merasakan kehampaan, kesepian, kebosanan dari kehidupan saya ini. Kupu-kupu, mungkin kata-kata yang tepat. Memang saya tak punya waktu untuk santai, tapi akhir-akhir ini saya kehilangan gairah untuk belajar. Awalnya saya pikir saya jenuh, tapi saya sadari bukan itu penyebabnya.

Saya hanya butuh teman.

Teman yang tidak hanya sekedar nama, teman yang dulu bisa saya dapatkan semasa di ITB, teman seperjuangan, teman yang bisa saya ajak diskusi, belajar bersama, main bersama, tertawa bersama, gabut bersama, dan kami bisa saling support dalam masalah kuliah.

Di sini saya tidak memiliki itu. Entah sudah berapa kali saya berusaha mencoba lebih dekat dengan teman-teman internasional saya, tapi tidak bisa. Selalu ada sesuatu yang menjadi penghalang untuk bisa lebih dekat dengan mereka. Saya tidak bermaksud rasis atau sejenisnya, tapi itulah yang saya rasakan. Perbedaan background, adat dan kebiasaan, membuat saya harus lebih banyak 'memaklumi' dan tidak bisa menjadi diri saya yang sebenarnya, saya yang harus beradaptasi. Ini membuat saya frustasi. Di samping saya butuh teman untuk mendukung saya dalam akademik, saya juga butuh teman sepemikiran, dan sejalan dengan keinginan saya untuk bisa menggali potensi saya.

Ini yang tidak saya dapatkan di sini. Teman. Bukan hanya teman dalam arti harfiah, tapi arti 'teman' sesungguhnya, secara batin.

Akhir-akhir ini saya sering sekali stuck dengan tugas, dan membuat saya frustasi karena tidak tau harus minta bantuan pada siapa. Memang ada teman sekelas saya yang dari indonesia juga, tapi dia berbeda dengan saya, saya tidak bisa seutuhnya menjadi diri saya. Dia bisa belajar dengan sendiri, sementara saya tidak. Saya juga tidak bisa terus-terusan bergantung dengannya. Dia bisa dengan mudah mendapatkan teman, dekat dengan mereka, tidak seperti saya. Dia memiliki wawasan luas, tidak seperti saya. Saya hanya gadis kikuk yang sulit sekali untuk mendapatkan teman di awal permulaan. Tapi saya sadar bahwa saya bukan tipe orang yang bisa hidup tanpa teman, bukan tipe orang yang suka menyendiri dan bisa menyelesaikan semua masalah sendiri. Saya butuh teman, tapi saya menyerah untuk mendapatkannya. Kontradiksi sekali.

Saya juga sempat berharap banyak dengan PPI daerah Kyoto, berharap bahwa mereka bisa menjadi keluarga saya yang baru, yang bisa dekat dengan saya secara batin, dan membantu saya untuk menjadi diri saya sendiri. Tapi kenyataan tidak semanis itu, tidak seperti di film-film bahwa kehidupan itu indah. Sosialisasi sungguhlah tidak semudah apa yang kau pikirkan.

Tidak semua warga Indonesia di daerah Kyoto tergabung dan aktif dalam PPI, yah mungkin ini hal wajar saja. Tapi banyak dari mereka yang memang benar-benar ke Jepang untuk menghindari orang Indonesia, mereka tak lagi mau berteman dengan orang Indonesia. Hal ini membuat saya terkejut. Setelah bergabung pun, ternyata apa yang saya rasakan tidaklah sehangat yang saya bayangkan. Tidak ada kedekatan secara batin. Mungkin karena saya masih terlalu muda, dan kebanyakan anggota PPI adalah orang dewasa yang sudah berkeluarga atau setidaknya dalam master degree. Ini semakin menyulitkan saya untuk mendapatkan teman seperjuangan yang saya inginkan.


Ini saat acara kumpul PPI Kyoto
Ini 'teman' seperjuangan saya
Saya pikir, bukankah kita minoritas? Seharusnya, kita secara tidak langsung akan merasa ingin bergantung dengan minoritas yang lain bukan? Ingin saling berbagi perjuangan dengan sesama minoritas bukan? Tapi kenapa saya tidak merasakan kekeluargaan yang erat di dalamnya? Apa yang salah?

Bahkan saat PPI Kyoto hendak mengadakan acara budaya Indonesia pun, hanya sedikit sekali yang berpartisipasi, menolak dengan berbagai alasan. Bukankah ini kesempatan yang tepat untuk saling mengenal sesama orang Indonesia? Tidakkah kau malu nanti jika berpapasan dengan orang Indonesia saat sedang bersama teman non-Indonesia, tapi sebagai sesama Indonesia, kalian tidak saling sapa?

Mungkin ada beberapa kalian yang berpikiran ini hal yang terlalu berlebihan untuk dipikirkan, tapi tolonglah, sebagai sesama warga minoritas, saya hanya ingin kita lebih dekat, karena kita memiliki beban dan perjuangan yang sama.

Saya merasakan kehangatan dan kekeluargaan yang mendalam selama di ITB yaitu di sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa Kebudayaan Banten, atau biasa disebut Debust. Kebanyakan anggotanya adalah yang berasal dari Banten, entah kenapa saya merasakan ikatan yang kuat di antara kami, bahkan pada kakak tingkat, sudah seperti sodara dan adek kakak. Sampai sekarang pun, merekalah yang menjadi warna hidup saya, meski hanya sebatas kontak dunia maya. Mereka yang selalu membuat saya kangen akan Indonesia, selain keluarga saya sendiri. Inilah yang saya harapkan pada awalnya, ketika masuk ke lingkungan PPI Kyoto.

Ini beberapa anggota Debust
Ini saat kami menampilkan tarian dari Banten
Tim penari saya
Ini saat acara perpisahan kejutan
Perpisahan ini untuk melepas saya yang pindah ke Jepang
Tidak semua dari mereka seangkatan dengan saya
Tapi, inilah keadaannya, saya lagi-lagi harus 'beradaptasi' untuk survive di sini. Semoga saya masih tetap bisa mempertahankan kepribadian asli saya, meski harus menahan diri selama 4 tahun di sini.

Salam,
Mitzi Alia.

No comments:

Post a Comment