Friday, April 10, 2015

Tinggal di Jepang?

Konbanwa.

Sekitar seminggu sudah saya lalui di negeri orang ini. Ya, cuaca memang lagi sangat buruk. Hal yang paling disayangkan adalah karena cuaca yang kurang mendukung, saya tidak bisa melihat sakura lebih lama lagi. Sekarang bunga-bunga sakura sudah merontok karena hujan yang cenderung terus mengguyur tiap hari.


Inilah sakura
Sakura-nya mulai rontok
Ini penampakan dari gerbang dorm
Suhu pun sama parahnya. Saat musim semi seperti ini, suhu masih di bawah 10 derajat. Jika pun di atas 10 derajat hanya ketika hujan tidak mengguyur kota. Ini cukup menggangu, tentu saja, sebagai orang tropis yang tidak pernah merasakan suhu seperti ini tiap hari, butuh energi dan daya tahan yang kuat.

Pada hari pertama saya sampai di Osaka pun sedang hujan. Senpai bilang cuaca memang sedang ekstrim. Musim dingin kemarin pun termasuk yang ekstrim karena salju turun begitu lebat. 

Pertama kali saya datang ke negeri seperti lego ini, saya mendarat di Kansai International Airport. Imigrasi memakan waktu 3 jam, banyak turis yang datang saat itu karena musim semi identik dengan sakura. Hebatnya dari imigrasi disini adalah, saya bisa langsung membuat residence card. Memang hanya beberapa bandara di Jepang yang memiliki fasilitas ini, salah satunya yaitu Kansai International Airport, jadi saya tak perlu pergi ke kedutaan untuk mengurus hal ini. Saya juga langsung mendapatkan kartu tersebut setelah melewati imigrasi. Hebat bukan? Kemudian saya menuju dorm saya, yaitu Misasagi International House. Memakan waktu 2 jam dari Osaka. Keadaan dorm? Tentunya bagus dengan fasilitas lengkap dan harga yang sangat murah. Hanya ¥14,500 per bulan, sudah termasuk listrik, air dan gas. Meskipun kamarnya kecil dan kamar mandi luar, tapi saya cukup puas dengan fasilitas disini. Mungkin karena saya belum pernah mendapatkan hal ini di Indonesia.

Hal yang harus saya urus selama orang tua saya menemani adalah daftar ulang, pembukaan akun bank, registrasi dan pembayaran beberapa asuransi yang disarakan universitas untuk dibayar. Pertama saya ke suatu kantor, mungkin kalau di Indonesia disebut 'kelurahan' atau yang sejenisnya, yang akan mengurus pendataan bahwa saya tinggal di dorm saya selama 2 tahun (sesuai visa). Dan jika saya pindah lokasi, saya harus mengurusnya kembali di kantor itu. Di kantor itu pula saya mendapatkan kartu National Health Insurance. Selama pengurusan ini, saya ditemani senpai yang bertugas sebagai tutor. Ini sudah disediakan oleh universitas. Kemudian saya membuka bank, Yuuchou dan UFJ. Di bank Yuuchou ini saya membayar asuransi yang bernama Gakkenbai dan Gakensai. Saya tak tahu apa bedanya juga, tapi ini berhubungan jika terjadi sesuatu dngan saya saat di kampus. Kemudian asuransi terakhir saya bayar di COOP, yaitu sejenis kooperasi di kampus. Nama asuransinya Gakubai.

Setelah mengurusi banyak pendaftaran yang mengharuskan saya menulis ulang alamat dorm saya (yang tulisannya kanji rumit semua, sementara saya tidak bisa bahasa Jepang), perhentian terakhir adalah bicycle shop. Ya, karena biaya transportasi yang cukup mahal untuk ke kampus, yaitu sekitar Rp. 90.000 bolak balik, para senpai pun menyarankan untuk membeli sepeda sebagai alternatif transportasi. Saya membeli sepeda seharga ¥21,000 sudah termasuk asuransi selama 1 tahun. Saya kaget sekali, saya membeli sepda tapi seperti membeli sepeda motor, ada kartu garansi, dan bahkan plat nomor! Senpai bilang kalau naik sepeda malam-malam, lampu dinamo harus dinayalakan, kalau polisi melihat kita tidak menyalakan lampu, kita bisa dicegat. Ini hal yang baru bagi saya. 

Kebanyakan orang jepang menggunakan sepeda berkerangjang, karena disini sepeda seperti salah satu alat transportasi utama, banyak orang yang menggunakan sepeda untuk pergi ke tempat belanja. Saya pun membeli sepeda berkeranjang dan ber-gear. Senpai bilang gear sangat penting karena mempermudah saat jalan.

Satu hal yang belum saya urus adalah masalah handphone. Tentunya ini menjadi salah satu masalah paling penting. Bagaimana saya menghubungi keluarga tanpa handphone? Ya, sistem di Jepang memang berbeda. Saya tidak bisa membawa hp saya dari Indonesia dan membeli kartu SIM di sana. Sistem disana mengharuskan kita untuk 'menjalin kontrak' dengan provider. Hanya ada 3 provider di Jepang, SoftBank, docomo dan au. Ketika kita menjalin kontrak dengan salah satu provider, mereka akan memberikan tagihan perbulan. Harga tersebut sudah termasuk harga penggunaan hp seperti sms, telepon dan internet, dan juga cicilan HP tersebut. Mungkin istilah 'beli kartu dapat hp' bisa juga digunakan, hanya saja 'harga kartu' tersebut sama dengan harga handphone. Jadi pada dasarnya tidak ada bedanya. Kontrak biasanya diadakan selama 2 tahun. Jika sudah lebih dari 2 tahun, kita bisa mengganti provider atau tetap pada provider yang lama.

Mengapa saya tidak bisa langsung membeli hp? (bahkan sampai sekarang pun saya belum mendapatkan hp!) Karena peraturan yang dibuat pemerintah Jepang cukup ketat. Sebenarnya setiap provider memiliki peraturan yang berbeda-beda. Seperti SoftBank yang mengharuskan pelangganya membayar deposit sebesar ¥70,000 untuk jaminan bahwa pelanggan akan membeli hp yang kita inginkan, tapi tidak membutuhkan surat rekomendasi dari orang dewasa. Di Jepang, warga di bawah 20 tahun wajib memiliki 'guarantor' orang Jepang jika ingin memiliki hp. Karena saya ingin kontrak dengan docomo, yang saya butuhkan adalah kartu ATM, dan surat rekomendasi dari Profesor saya di Kyoto University. Saya belum mendapatkan surat rekomendasi tersebut, sehingga saya tidak bisa membeli hp.

Yah, mungkin itu beberapa hal yang akan diurus jika pertama kali datang ke Jepang untuk tinggal dalam jangka waktu tahun.



Salam,

Mitzi Alia

No comments:

Post a Comment